Pada zaman dahulu, ada sebuah desa di tengah kota Rembang. Sebut saja desa itu, desa Kranggan. Di sebelah utara desa tersebut berbatasan langsung dengan Sukoharjo (Pendopo Kabupaten lama yang di dalamnya terdapat museum R.A. Kartini). Sedangkan dari sebelah timur, desa tersebut berbatasan dengan Desa Mborotugel. Adapun di sebelah selatan Desa tersebut dulunya adalah hutan belantara, bahkan oleh pemerintah daerah sebelah selatan Desa tersebut dijadikan untuk pemakaman umum. Dan di sebelah barat berbatasan dengan desa Leteh (Pondok Pesantren Roudhotul Tolibin). Jika di lihat dari batas-batas Desa tersebut, masyarakat Rembang pastinya sudah dapat menebak bahwa Desa yang dulunya bernama Desa Granggang adalah Desa yang kini bernama Desa Sidowayah. Desa Sidowayah yang dihuni oleh masyarakat yang kurang lebih sekitar 5000 jiwa, dahulu hampir seluruh masyarakatnya berprofesi sebagai pembuat gerabah (perkakas yang terbuat dari bahan tanah liat). Cara pembuatannya pun sangat sederhana. Ibu Suraspi misalnya, hanya bermodalkan dengan laker bekas dan potongan kayu yang berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter kurang lebih 35 cm, dapat menghasilkan gerabah kurang lebih 300 buah per hari. Profesi pembuat gerabah tersebut turun temurun seperti yang di alami Ibu Suraspi. Sayangnya keahlian masyarakat Desa Sidowayah membuat gerabah pada masa itu kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Sehingga budaya yang Adi Luhung tersebut mulai terkikis oleh zaman. Para pembuat gerabah kurang mendapat motivasi untuk meningkatkan kreativitas serta kreasi dalam pembuatan gerabah. Padahal jika pemerintah memberikan perhatian para pengrajin gerabah, bukan tidak mungkin jika nantinya proses pembuatan gerabah tersebut bisa menyerap tenaga kerja di sekitar kota Rembang. Walaupun demikian, masyarakat Desa Sidowayah tak pernah mengeluh. Para pembuat gerabah selalu bersyukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas semua yang telah di anugrahkan. Hal tersebut dapat di lihat dari adanya tradisi “Gambuh” yang sering dilakukan masyarakat Desa Sidowayah setelah mendapatkan hasil pembuatan gerabah. Gambuh sendiri adalah tradisi ataupun ritual semacam arak-arakan yang membawa berbagai macam gamelan (lengkap) yang di mainkan dengan berjalan kaki, sehingga gamelan tersebut di bawa dengan cara di pikul oleh setiap pemainnya. Masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam tradisi “Gambuh” ikut arak-arakan dengan menggunakan pakaian adat Jawa kuno. Arak-arakan yang dilakukan pun cukup singkat dengan mengelilingi Desa Sidowayah. Pembuatan gerabah yang sebagian besar dilakukan oleh Masyarakat Desa Sidowayah, bukan tidak mungkin jika akhirnya banyak jalan-jalan di sepanjang Desa Sidowayah yang setiap rumahnya terdapat gerabah. Entah gerabah tersebut sedang di jemur ataupun saat proses pembakaran. Ada juga salah satu jalan (gang) pada Desa Sidowayah yang setiap rumahnya berprofesi sebagai pengrajin gerabah. Sehingga jalan-jalan tersebut di penuhi dengan gerabah-gerabah yang sedang dalam proses pembuatan. Hingga pada akhirnya, lama-kelamaan masyarakat daerah setempatt menyebut gang (jalan) tersebut dengan sebutan Gang Kundhi yang artinya adalah gerabah.
Karena gerabah yang di hasilkan oleh masyarakat Desa Sidowayah begitu banyak, tidak mungkin jika masyarakat Desa Sidowayah membawanya ke pasar dengan berjalan kaki. Karena pada zaman dahulu tentunya belum ada mobil, motor, ataupun kendaraan lainnya yang dapat mengangkut gerabah dalam jumlah besar. Maka masyarakat Desa Sidowayah, banyak juga yang menggunakan transportasi tradisional yang biasa disebut dengan cikar. Ada salah satu gang (jalan) di Desa Sidowayah yang masyarakatnya benyak menyewakan cikar untuk di gunakan sebagai pengangkutan gerabah untuk di bawa ke pasar. Karena hal tersebut, masyarakat menyebut gang (jalan) tersebut dengan sebutan gang Cikar.
Pada zaman Adipati Joyodiningrat (Suami R.A. Kartini) memerintah Kadipaten Rembang (sekarang Kabupaten Rembang), di desa Kranggan hidup seorang janda paro baya yang oleh masyarakat sekitar tidak di ketahui asal usulny, orang-orang sekitar sering memanggilnya Mbah Sutinah. Beliau hidup dengan penuh kesederhanaan. Kesehariannyabeliau juga ikut membuat gerabah dari tanah liat, dan yang paling menonjol beliau sering menjadi paran poro untuk dimintai pertolongan dalam banyak hal seperti, seseorang yang sedang mencari jodoh, murah rejeki,ataupun jika ada hajat kerja dan lain-lain. Sehingga masyarakat masyarakat menganggapnya sebagai sesepuh desa. Selain karna beliau tidak mengharapkan imbalan dari jasa yang beliau berikan, beliau juga sering member wejangan-wejangan pada waktu acara rerepen Gambuh yang diadakan setelah berjualan gerabah secara bersama-sama. Kehidupan yang sangat serba sederhana dan jasanya yang ikhlas membuat beliau sangat di segani di Desa Kranggan.
Pada suatu acara rerepen Gambuh, Mbah Sutinah mengutarakan tentang kelangsungan nasib generasi yang akan meneruskan tradisi pembuat gerabah yang ada di Desa Kranggan. Beliau berpikir, apakah selamanya orang di Desa Kranggan hanya membuat gerabah dari tanah liat, sedangkan zaman akan terus berkembang, bagaimana jika besok alat gerabah sudah di gantikan dengan bahan yang lain. Dan yang membuat prihatin hati Mbah Sutinah, perbandingan antara pria dan wanita pada waktu itu tidak seimbang yaitu 1:3. Sebab pria banyak yang meninggal dalam masa pemberontakan, sehingga pada saat Mbah Sutiah member wejangan, Mbah Sutiah mengatakan “Wah.. Sido di wayoh..!” Maksud dari ucapan Mbah Sutiah tersebut adalah, supaya generasi muda tidak hanya membuat gerabah di desa saja, melainkan mau keluar wilayah untuk berusaha dengan jalan yang lain agar tidak di wayoh atau di madu oleh pria yang memiliki derajat lebih tinggi. Karna Mbah Sutinah di anggap sesepuh di Desa Kranggan, kata-kata tersebut oleh masyarakat sekitar menjadi buah bibir. Di setiap ada perkumpulan-perkumpulan masyarakat, selalu membicarakan tentang ucapan Mbah Sutinah. Karena sering di ucapkan oleh masyarakat Desa Kranggan, maka akhirnya nama Desa Kranggan dig anti dengan Desa “Sidowayah”. Seiring dengan berjalannya waktu, Mbah Sutinah akhirnya meninggal dunia. Jasadnya di kebumikan di belakang rumah yang dulu beliau tinggali, yaitu sekarang lebih di kenal dengan Sumur Gedhe (dekat CV Budhi Karya) Sepeninggal Mbah Sutinah, masyarakat masih mengkultuskan makam Mbah Sutinah, sehingga banyak warga yang menyalahgunakan makam tersebut untuk kegiatan musyrik. Karena zaman sudah semakin maju, pada akhirnya makam Mbah Sutinah di hilangkan oleh tokoh masyarakat yang sudah mengerti akan akidah yang benar. Akan tetapi cerita ini tidak membahas tentang benar tidaknya suatu akidah, melainkan cerita tentang asal mula terjadinya Desa Sidowayah.